Pemerolehan bahasa adalah proses manusia mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas. Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan atau manual seperti pada bahasa isyarat. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang dewasa.
SEJARAH KAJIAN PEMEROLEHAN BAHASA
Minat terhadap bagaimana anak memperoleh bahasa sebenarnya sudah lama sekali ada. Konon raja Mesir pada abad 7 SM, Psammechitus I, menyuruh bawahannya untuk mengisolasi dua dari anaknya untuk mengetahui bahasa apa yang akan dikuasai anak-anak itu. Sebagai raja Mesir dia mengharapkan bahasa yang keluar dari anak-anak itu adalah bahasa Arab, meskipun akhirnya dia kecewa.
Charles Darwin pada 1877 juga mencatat perkembangan bahasa anak lelakinya (Gleason dan Ratner 1998: 349). Catatan harian pada zaman modern berkembang menjadi data-data elektronik sesuai dengan perkembangan zaman mendorong lebih kuat kajian mengenai bagaimana anak memperoleh bahasa.
Ingram (1989) membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahap: periode buku harian, periode sampel besar, dan periode kajian longitudinal. Periode buku harian adalah dari tahun 1876 sampai tahun 1926. Pada masa ini kajian pemerolehan bahasa anak dilakukan dengan peneliti mencatat apapun yang diujarkan oleh anak dalam suatu buku harian. Data dalam buku harian ini kemudian dianalisis untuk disimpulkan hasil-hasilnya. Tulisan H. Taine pada tahun 1876 yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul “On The Acquisition of Language by Children” adalah tulisan pertama mengenai pemerolehan bahasa anak.
Periode sampel besar adalah dari tahun 1926 sampai tahun 1957. Periode ini berkaitan dengan munculnya aliran baru dalam ilmu jiwa yang bernama behaviorisme yang menekankan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan bahasa. Dengan pandangan yang behavioristik ini maka metode kuantitatif dianggap sebagai metode yang benar.
Untuk mendapatkan hasil yang sahih dan akurat diperlukan sampel yang besar. Ada peneliti yang memakai sampai 480 anak untuk mengetahui ketrampilan-ketrampilan tertentu pada anak (Templin 1957). Diharapkan dengan sampel yang besar ini generalitas, hipotese, atau hukum yang ditemukan akan lebih sahih.
Periode kajian longitudinal, menurut Ingram, dimulai dengan munculnya buku Chomsky Syntactic Structures (1957) yang merupakan titik awal dari tumbuhnya aliran mentalisme atau nativisme pada ilmu linguistik. Aliran yang berlawanan dengan behaviorisme ini menandaskan adanya bekal kodrati yang dibawa pada waktu anak dilahirkan. Bekal kodrati inilah yang membuat anak dimanapun juga memakai strategi yang sama dalam memperoleh bahasanya.
Ciri utama periode ini adalah bahwa studi longitudinal memerlukan jangka waktu yang panjang karena yang diteliti adalah perkembangan sesuatu yang sedang dikaji dari satu waktu sampai ke waktu yang lain. Waktu yang hanya satu-empat bulan biasanya belum akan dapat memberikan gambaran bagaimana sesuatu itu berkembang dalam bahasa. Jumlah subjek biasanya juga lebih sedikit dan bahkan satu orang pun cukup seperti yang dilakukan oleh Weir (1962), Dromi (1987), Tomasello (1992), dan Dardjowidjojo (2000).